Kamis, 18 Juni 2009

Di tanggal dan bulan empat itu

Di tanggal dan bulan empat itu

Cahaya lilin terangi wajahmu

Datangmu menggertak kaget aku

Salah tingkah tak mampu ku redam

Dengan paksa, kau hadir di depan

Segera terang lilin itu padam

Kau tuturkan basa-basi selamat

Meski semua tak tulus, hatiku girang tak kepalang

Itulah hari ulangtahun terindahku

Di tanggal dan bulan empat itu

Kau –akhirnya- tau hatiku merasa apa

Di tanggal dan bulan empat itu

Aku –akhirnya- juga tau yang kau rasa

Di tanggal dan bulan empat itu

Kita –akhirnya- tak pernah bicara lagi dari hati ke hati


Gelap

Itulah kurasa

Terselubung jauh dalam asa

Hampa

Tak bercahaya

Hitam menyelimuti

Kelam,

Tak terlihat,

Kosong,

Terangilah aku

Ku mohon… Bandung 18 juli 2008

Guratan hati

Menggores hati

Terobati hati

Naik turun tak berhenti

Guratan hati

Hati-hati ! Bandung 29 agustus 2008


Benarkah Sang binatang jalang itu plagiat

Yah,sang binatang jalang. Siapa lagi kalau bukan,Chairil anwar. Lahir di Medan tanggal 22 juli 1922. sekarang ei bukan membahas tentang puisi yang berjudul Aku, tetapi tentang kehebohan karena sajak yang berjudul ’Datang dara hilang dara’ yang diumumkan dalam majalah Mimbar Indonesia atas namanya ternyata plagiat (curian) dari sajak Hsu Chih Mo berjudul ’A Song of the Sea’. Peristiwa itu mengejutkan dunia sastra Indonesia sehingga timbul polemik antara yang menyerang dengan yang mempertahankan Chairil. H.B. Jassin mencoba membelanya dengan mengajukan alasan-alasan ekonomi dan keuangan. Setelah ia meninggal,masih ada heboh yang tertinggal. Ternyata sajak ‘Krawang-Bekasi’ yang banyak dikutip orang dalam peringatan-peringatan nasional, ternyata juga plagiat dari sajak Archibald Macleish berjudul ‘The Young Dead Soldiers’. Demikian juga dengan sajaknya ‘Kepada Peminta-minta’,’Rumahku’, dan lain-lain.

Meskipun pembelaan kawan-kawannya terdekat seperti Jassin, Asrul Sani dan lain-lain tak dapat menutupi kenyataan perbuatan chairil yang keji itu, namun orang pun tidak pula bisa membantah peranan dan jasa Chairil dalam sejarah sastra Indonesia. Pengaruhnya terhadap perkembangan sastra Indonesia sesudah perang pun nyata dan tak bisa dipungkiri. S.M. Ardan dalam salah sebuah tulisannya dalam Gelanggang / Siasat 1954 berkenaan dengan diketemukannya ‘Krawang – bekasi’ sebagai plagiat, mengatakan bahwa lebih baik diselidiki dan diakui plagiat-plagiat yang dilakukan Chairil itu dan bukan dibantah atau dibela, sebab dengan demikian Chairil akan dibersihkan dari dosa yang melekat pada dirinya.

Munculnya Chairil Anwar dalam panggung sejarah sastra Indonesia memberikan sesuatu yang baru. Sajak-sajaknya tidak seperti sajak-sajak Amir Hamzah yang betapa pun masih mengingatkan kita kepada sastra Melayu, meskipun sajak-sajak Amir itu memang indah dan bernilai tinggi. Tidak dapat dibantah pula bahwa sajak-sajak Chairil Anwar bernilai, bahkan bernilai tinggi. Bahasa yang dipergunakannya ialah bahasa Indonesia yang hidup, berjiwa. Bukan lagi bahasa buku, melainkan bahasa percakapan sehari-hari yang dibuatnya bernilai sastra. Karena itulah ada orang yang berpendapat bahwa baru dengan sajak-sajak Chairil Anwarlah sebenarnya sastra Indonesia lahir, sedangkan karya-karya Amir Hamzah, Sanusi Pane, Takdir Alisjahbana dan lain-lainnya dianggap sebagai hasil sastra Melayu saja. Pendapat ini tidak bisa diterima, karena Chairil Anwar sesungguhnya merupakan buah dari pohon yang ditanam dan dipupuk oleh para pendahulunya.

Jadi, benarkah sang binatang jalang itu plagiat?


Sumber dari :Ikhtisar Sejarah Sastra Indonesia-Ajip Rosidi