Selasa, 26 Mei 2009

R.A.D.I.O. B.U.T.U.T

Apa harta kamu yang paling berharga?

Uang ? atau apa?

Eitss, kalau kamu tanyakan itu pada Tyari, jawabannya sudah pasti ’radio bututnya’.

Yah, radio.

Gadis berambut ikal yang baru saja merayakan sweet seventeennya inii selalu standby menyalakan radio. Tiap detik,menit,hingga berjam-jam kupingnya masih betah saja menyimak sang penyiar mengoceh. And of course, menikmati lagunya, dihayati sepenuh hati,akhirnya ”aku tak bisa melihat kau bersamanya",dia akan bernyanyi sejadi-jadinya.

Pfiuh, begitulah yang terjadi jikalau Tyari dilanda bete berkepanjangan. Seperti hari ini,tepatnya tadi pagi,di sekolah.

”gimana kalo dia malah sukanya ama kamu,Ri?”,Fatma tampak curiga.

”hah?”, aku tersentak kaget. Rasanya seperti dilempar ke kulkas. Aku beku,kaku.

Tak ku kira,tak dinyana kamu berfikir seperti itu. Aku tak mungkin merebut Radit. Tak terbersit sedikitpun rasa ku menyukainya, apalagi sebaliknya. Niat suciku untuk menjembatani rasa kalian terhalang kabut hitam yang menutupi hatimu. Kawan, sikapmu makin memvonis bahwa aku adalah terdakwa. Mengertilah aku tulus ngecomblangin kalian, tanpa ’unsur’ apapun, teriakku dalam hati. Fatma terdiam. Di wajahnya masih terlihat dia menunjukku sebagai pengkhianat persahabatan.

Hampir semua orang disekitarku tahu –bahkan mungkin muak- tentang obsesiku. Pernah aku ditertawakan Ayah saat mendengar obsesiku.

”hahaha...cita-cita kok jadi itu”, sambil membaca koran, ayah tak sedikitpun menoleh padaku.

Hatiku runtuh. Semangatku ambruk. Senyumku mengkerut. Sejak itu aku bagai dicambuk, hanya satu kalimat ini yang ada dalam pikiranku

AKU HARUS BUKTIKAN,AKU BISA!

Perjuanganku pun dimulai.

”halo,Dhisa kamu dimana?aku udah di depan rumah mbak Tari nih”,sambil menelpon,aku celingak celinguk ke arah rumah Mbak Tari, nampak sepi.

”aduuh,maaf..tadi kan aku udah nelpon ke rumah kamu,aku titip pesen kalau les sekarang di undur jadi jam 4,emmh ya udah kamu ke rumah aku aja dulu,gimana?”,Dhisa tampak merasa bersalah.

Tanpa basa-basi,”oh,ok”.

Sesaat aku diam, hanya suara lalu lalang mobil dan motor yang terdengar.

”duuh,uang ku cuma cukup buat ongkos pulang nanti,ini juga sisa uang jajan tadi,emhh..tak ada pilihan lain”,dengan sedikit terburu-buru aku jalan kaki menuju rumah Dhisa, padahal jaraknya lumayan jauh.

Mbak Tari adalah sosok yang 180 derajat berbeda denganku. Rasa segan yang selalu menghampiriku bila menatap sang penyiar Radio anak muda itu. Mungkin lebih tepatnya aku takut. Aku mengenal dia berkat jasa teman sekelasku, Dhisa. Dia mengajak ku untuk ikut les langsung dari penyiarnya,yang sekaligus teman Mamanya itu. Aku tentu antusias dengan ajakan itu,tapi tidak dengan orangtuaku. Alhasil, aku berusaha segala sesuatunya sendiri,termasuk biaya untuk ikut les itu.

Hari ini perdana suaraku akan mengudara, yah, aku serius.siaran untuk pertama kalinya. Tapi aku ’belum’ ....

To be continued...

2 komentar:

  1. penyiar ya mbak?
    boleh kenalan?
    gerry

    BalasHapus
  2. hai.. slam kenal yah.. sukses yah.. mampir ke blog ku yah.. jangan lupa ksaih komentarnya n jadi follower yah. biar blog ku rame. masih dalam tahap pengembangan sih. thx banget

    BalasHapus